Rahasia Manja-Kisah Yuli

RAHASIA MANJA — Kisah Yuli

RAHASIA MANJA — Kisah Yuli

SUATU PERJALANAN TENTANG KERINDUAN YANG TAK MUDAH DITEPIS, TENTANG RASA AMAN YANG DISALAHARTIKAN, DAN KEPUTUSAN YANG MENGUBAH HIDUP.

PELUKAN YANG MENENANGKAN

Akhirnya aku tak sanggup menahan semua gundah gulana. Di sebuah sore yang redup, aku meminta bertemu Pak irul di tempat yang terasa aman — kafe kecil yang hangat, jauh dari tatapan orang. Ketika aku mulai bercerita, semua yang kutahan selama ini tumpah: lelah, takut, rindu akan kehangatan yang kurasa hilang. Angin sepoi dari jendela menambah kesan sepi dan intim, membuat setiap kata yang terucap semakin menggema di hati dan menyalakan sensasi hangat yang sulit kutahan.

Pak irul duduk di hadapanku, menunggu dan mendengarkan tanpa menghakimi. Tangannya lembut mengelus bahuku, suaranya serupa tempat berlabuh. Dalam pelukan itu, air mataku tumpah tanpa malu. Aku seperti anak yang kembali pulang, dibelai tanpa syarat. Kelegaan yang menyusup membuat hatiku berdetak perlahan — aman, sangat aman — dan untuk sesaat semua beban terasa ringan. Setiap sentuhan ringan dari tangannya membuat kulitku merinding, seolah ada panas yang merambat dari bahu hingga ujung kaki, membuat hatiku bergetar tanpa henti.

BATAS YANG MULAI KABUR

Setelah pertemuan itu, ada yang berbeda. Sentuhan-sentuhan sederhana yang dulu terasa biasa kini menyisakan gema di hatiku. Tatapan Pak irul terkadang lama, ucapannya terkadang tersendat oleh makna yang tak terucap. Aku menyadari batas yang selama ini kami jaga mulai kabur, dan aku sendiri tak kuasa menutup mata dari perasaan yang tumbuh tanpa aku rencanakan. Setiap kali jarak kami berdekatan, detak jantungku seakan menari lebih cepat, dan ada getaran hangat yang sulit kutahan.

Di malam-malam sepi, aku sering memikirkan apakah yang kurasakan ini cinta atau hanya pelarian. Rasa bersalah memenuhi setiap sudut hati, namun ada pula hangat yang membuatku kembali. Perang batin itu menajam — antara tanggung jawab, kesetiaan, dan gairah yang tiba-tiba besar pada sesuatu yang menjanjikan pengertian. Kadang aku membayangkan jari-jari kami bersentuhan diam-diam, dan seluruh tubuhku merespons secara tak terkendali, meski hatiku berteriak untuk berhenti.

RAHASIA YANG TUMBUH DI ANTARA KAMI

Kami mulai sering bertemu. Bukan hanya obrolan—ada kedekatan yang membuat waktuku terasa lain. Di sela rutinitas, aku mencari wajahnya. Di sela tugas rumah, aku menggenggam layar telepon, menunggu pesan yang membuat dada terisi. Hubungan kami bukan lagi sekadar sandaran; ia berubah menjadi benang halus yang menjeratku pelan. Kadang aku menutup mata membayangkan sentuhan hangat di tangan, bahu, dan punggungku — yang membuat seluruh tubuhku bergetar, meski aku berusaha menenangkan diri.

Kami berdua tahu resikonya. Namun ketika jarak memisahkan, rinduku terhadap suara dan kehadirannya lebih berat dari segenap pertimbangan. Ada malam-malam kami duduk dalam keheningan yang penuh arti, saling merasakan keberadaan satu sama lain tanpa perlu menjabarkan semuanya. Dalam kesunyian itu, tubuh kami berbicara bahasa yang tak terucap: hangat, lembut, dan menggoda.

DI ANTARA DOSA DAN RINDU

Rindu itu berubah menjadi kebutuhan. Ketika aku pulang, wajah suamiku terasa seperti bayangan yang tak sepenuhnya menyingkap hatiku. Ia baik, setia, tak pernah menaruh curiga. Justru kebaikannya memperparah rasa bersalahku, karena aku tahu apa yang kulakukan pada hatinya. Di sisi lain, ada bagian dari diriku yang tak bisa dibohongi: di hadapan Pak irul, aku merasa terlihat, didengar, dan diinginkan—sesuatu yang tak kubisa abaikan begitu saja. Getaran di dadaku setiap kali kami bertukar pesan membuatku sulit menahan senyum dan napas terengah.

Malam-malamku dipenuhi tatap kosong dan bisik-bisik penyesalan. Aku menangis sendiri, berusaha menata kembali keping-keping jati diriku yang retak. Namun tiap kali kutemui Pak irul, seolah semua retakan terisi lagi, meski hanya sementara. Ada kehangatan yang membuat seluruh tubuhku terasa hidup, dari ujung rambut hingga jari kaki, yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Angin malam menyapu tirai kamar seperti tangan usil yang tak sabar menyingkap rahasia. Bu Yuliati berdiri mematung di jendela, tubuhnya gemetar bukan karena dingin—melainkan karena keputusan nekat yang sudah terlalu lama menunggu untuk meledak. Mas Irul berdiri beberapa langkah di belakangnya, suara napasnya berat, terkontrol, seperti seseorang yang mencoba tidak kehilangan kendali atas badai yang sudah di pintu. “Jadi… ini benar-benar mau kamu?” suaranya serak, rendah, seperti nada gitar yang dipetik pelan tapi bernyanyi liar di dada. Bu Yuliati tak menjawab. Ia hanya menoleh, dan tatapannya sudah mengatakan semuanya—tatapan seseorang yang sudah terlalu sering menahan diri… dan malam itu memutuskan berhenti menahan apa pun. Mas Irul mendekat. Perlahan. Hening. Tegang. Sampai jarak mereka tinggal sehelai napas. Dan saat itu terjadi— ketegangan yang sejak lama menggantung akhirnya runtuh seperti pintu yang didorong badai. Tidak ada kata. Tidak ada logika. Tidak ada teori moral. Hanya dua manusia yang akhirnya berhenti pura-pura kuat. Sisa malam itu? Hanya suara napas yang saling mencoba menyeimbangkan tempo, cahaya lampu yang bergoyang karena angin, dan keputusan yang tidak mungkin ditarik kembali

HASRAT DAN PENYESALAN

Lamunan yang manis dan kehangatan yang kosong berkelindan jadi satu. Aku merasa manja dan rapuh, mencari kehadirannya seperti udara. Pelukan Pak irul memberi rasa aman yang membuatku mabuk — bukan dari sesuatu yang vulgar, tetapi dari perasaan kembali hidup; dari menjadi perempuan yang diperhatikan. Namun tiap kelegaan selalu disusul kantuk bersalah yang mendalam. Aku merasakan kombinasi panas dan lega yang membuat hatiku seperti terbakar dan sekaligus tenang.

Aku sering berdiri di depan cermin, menatap diriku yang asing dan bertanya: apa yang kucari sebenarnya? Cinta? Pengertian? Atau hanya pelarian dari sunyi yang terlalu lama? Jawabannya tak kunjung jelas, hanya makin menumpuk jadi keputusan yang menunggu untuk diambil. Setiap bayangan Pak irul yang muncul di pikiranku membuat napasku tersengal dan tubuhku seolah ingin mendekat, walau aku tahu itu tak bisa.

BAYANG-BAYANG KESALAHAN

Di rumah, aku tetap memegang peran. Senyumku hadir di meja makan, suamiku tetap percaya. Namun di balik itu, hidupku retak. Setiap pesan dari Pak irul membuat jantungku melonjak, setiap pertemuan membuatku merasa bersalah sekaligus damai. Ia juga berubah; kadang diam, seakan menimbang antara hasrat dan tanggung jawab. Kami berdua tahu jalan kami rapuh, namun tak juga punya keberanian untuk segera mengakhirinya.

Rasa bersalah itu seperti bayang-bayang yang mengikuti setiap langkahku. Ia mengajarkan satu hal pahit: bahwa menjadi jujur pada diri sendiri lebih sulit daripada menipu dunia. Namun di setiap detik rindu, tubuh dan hatiku tetap menuntut kehangatan yang sulit dijelaskan.

KECANDUAN YANG MEMBAKAR

Kami masuk pada siklus: bertemu, merasa lega, lalu menyesal. Aku seperti kecanduan pada cara ia membuatku merasa lengkap. Ketergantungan ini menggerogoti sedikit demi sedikit ruang-ruang yang dulu kukenal. Keinginan untuk berhenti selalu hadir, tetapi takut kehilangan rasa itu mengalahkan keberanian untuk menepikan hubungan itu. Setiap tatapan, setiap sentuhan singkat, meninggalkan sensasi yang membara di seluruh tubuhku.

Di setiap perpisahan, ada kepedihan; di setiap pertemuan, ada kebahagiaan yang singkat. Aku terus mengulang janji-janji pada diri sendiri bahwa ini akan berhenti, namun kenyataan seringkali lebih kuat dari tekadku. Malam-malamku dipenuhi mimpi tentang kehangatan yang tak bisa kuabaikan, yang membuatku tersenyum sekaligus menyesal di waktu yang sama.

TITIK BALIK, RAHASIA, DAN KEPUTUSAN

Suatu pagi aku menyadari sesuatu yang mengubah seluruh keseimbangan: aku hamil. Perasaan itu datang bagai gelombang — takut, bingung, namun juga ada kehangatan yang aneh karena ada kehidupan kecil yang tumbuh dalam diriku. Di benakku berkecamuk banyak hal: siapa yang harus kutahu, bagaimana menghadapi suamiku, apa arti anak ini bagi masa depan kami. Jantungku berdegup kencang, dan pikiran tentang Pak irul membakar campuran rasa antara rindu dan bersalah.

Dalam kebimbangan itu aku mengambil jalan yang sulit. Aku memutuskan untuk berhenti pada hubungan yang telah menjeratku — bukan karena aku tak lagi merasakan apa-apa, melainkan karena aku ingin memberi anak ini dan keluargaku sebuah kesempatan yang utuh, meski bermula dari rahasia. Aku memilih menutup bab itu dan kembali pada suami dengan sejujurnya yang sebisanya: bertanggung jawab atas kehamilan, memperkuat rumah tangga, dan berusaha membangun kembali kepercayaan yang mungkin renggang. Namun perpisahan itu bukan tanpa jejak — ada rindu yang membakar dan bayangan hangat yang terus menempel di hatiku, membuatku berkecamuk antara aman dan terbakar.

Keputusan ini bukan tanpa luka. Ada perpisahan yang menyakitkan, ada malam-malam menyesal yang panjang. Namun dengan keputusan itu, aku menemukan sebuah ketenangan baru — ketenangan dari usaha untuk bertanggung jawab, bukan lagi melarikan diri. Aku menerima bahwa hidup adalah rangkaian pilihan, kadang pahit, dan kadang memberi kesempatan untuk menata ulang makna cinta. Di setiap hembusan napas, aku merasakan campuran rasa bersalah dan lega, seolah hatiku terbakar sekaligus tenang.

© 2025 — Rahasia Manja. Semua hak cipta dilindungi.

Tidak ada komentar: