BAYANGAN YANG TIDAK PERNAH MEREKA AKUI

Setelah malam itu, sunyi menjadi musuh baru bagi Bu Yuliati. Setiap kali ruangan terlalu tenang, pikirannya memutar kembali detik-detik yang seharusnya tidak ia biarkan terjadi. Detik yang berdenyut, mengguncang, dan menampar hati dengan kenyataan bahwa ia bukan lagi perempuan yang bisa bersembunyi di balik prinsip yang rapih.

Irul pun tidak lebih baik. Ia berjalan mondar-mandir di ruangannya, seperti binatang yang kehilangan jalur keluar. Ada sesuatu di matanya—gelap, keras, dan sedikit kacau. Seolah malam itu menancapkan paku yang tidak bisa ia cabut, meski ia ingin menghancurkan paku itu dengan tinjunya sendiri.

“Kenapa aku gak bisa berhenti mikirin kamu…” gumam Irul, bukan sebagai lelaki yang sedang jatuh hati— tapi lelaki yang sedang berperang dengan sisi dirinya yang paling ia benci.

Tidak ada kasih sayang manis dalam ingatan mereka. Yang ada hanyalah rasa lapar yang seharusnya tidak lahir. Dan setiap kali mereka mencoba membunuh rasa itu, rasa itu justru tumbuh seperti sesuatu yang gelap, tajam, dan haus akan pengakuan.

KETIKA MEREKA BERJUMPA LAGI

Pertemuan berikutnya tidak dramatis. Tidak ada hujan. Tidak ada musik sendu. Hanya ruangan kantor yang terlalu terang dan dua manusia yang pura-pura tenang padahal isi dada mereka seperti lantai kaca yang rapuh dan siap pecah kapan saja.

Bu Yuliati mencoba tersenyum, tapi senyum itu retak. Irul hanya diam, menatapnya terlalu lama, terlalu dalam, hingga Yuliati harus mengalihkan pandangan untuk menjaga dirinya tetap utuh.

Ada jeda lima detik. Lima detik yang membuat udara menegang seperti kawat tipis. Lima detik yang membuat mereka sadar betapa rusaknya mereka hanya karena satu malam.

“Jangan lihat aku dengan cara itu,” bisik Bu Yuliati, nada suaranya bergetar namun tegas. “Kalau kamu lihat aku seperti itu lagi… aku tidak yakin bisa tetap waras.”

Irul tertawa pendek—tawa tanpa humor, tawa orang yang sudah kalah sejak awal. Ia mendekat, bukan karena berani, tapi karena tidak punya kendali lagi.

Dan saat jarak mereka tinggal hitungan mili— bukan keinginan yang bicara, bukan cinta, bukan hasrat.

Yang bicara adalah luka. Luka yang mereka biarkan tumbuh bersama malam itu.

KETEGANGAN YANG MAKIN GELAP

Irul menyandarkan tangan pada dinding di samping wajah Yuliati. Gerakan itu tidak keras, tapi memiliki intensitas yang mengiris. Bukan romantis—lebih seperti seseorang yang sedang menahan badai yang terlalu liar untuk dijinakkan.

“Aku benci ini,” ucap Irul dengan suara serak. “Tapi aku lebih benci kalau kamu pura-pura tidak merasakannya.”

Bu Yuliati membalas tatapannya. Mata itu menyimpan banyak hal—lelah, marah, takut, tapi juga… sesuatu yang lebih gelap dari semua itu.

“Malam itu… kamu pikir aku tidak berusaha berhenti?” Yuliati berkata pelan. “Aku sudah berdoa agar kamu tidak datang waktu itu.”

Irul tersenyum tipis—senyum pahit. “Dan tetap saja aku datang.”

Hening. Tegang. Langit-langit ruangan seakan turun, menekan mereka hingga hampir tidak bisa bernapas.

Tidak ada sentuhan yang melewati batas. Tidak ada tindakan yang dilarang. Namun intensitasnya—Tuhan tahu—lebih tajam dari pisau.

Mereka berdiri begitu dekat, dua jiwa rusak yang saling menatap seperti dua tepi jurang yang tidak tahu apakah mereka lebih takut jatuh… atau justru ingin jatuh bersama.

Tidak ada komentar: