MALAM YANG JARAK BENER-BENAR LULUH

Malam itu akhirnya pecah menjadi sesuatu yang tidak lagi bisa ditahan oleh dua orang yang sudah terlalu lama saling membaca, saling menunggu, dan saling menahan diri seperti dua sistem yang siap overload.


Setelah jarak menghilang, keduanya bukan lagi dua titik yang terpisah.
Ada sesuatu yang runtuh perlahan—bukan kehormatan, bukan moral, tapi ilusi bahwa mereka bisa tetap “biasa-biasa saja”.

Ia menarik napas perlahan, seakan mengumpulkan keberanian terakhir yang sejak tadi menggantung di tenggorokan.
Suara malam makin tenggelam.
Yang tersisa hanya detak jantung dan napas mereka yang saling mendekat seperti dua gelombang yang akhirnya bertemu di garis pantai.

“Dari dulu sebenarnya aku…”
Kalimat itu menggantung—menunggu diselesaikan, tapi justru membuat udara makin tebal, makin intens.

Dia menatapnya lekat.
Bukan menantang…
bukan malu…
tapi seperti seseorang yang sudah siap jujur habis-habisan.

“Kamu nggak harus jelasin,” bisiknya pelan. “Aku udah tau dari cara kamu lihat aku.”

Dan benar—tatapan itu memang bukan tatapan orang yang bisa sembunyi.
Ada kehangatan yang nyaris meledak, ada kerinduan yang tidak pernah diberi nama, dan ada rasa takut kehilangan yang tidak pernah diucapkan.

Malam bergerak seperti slow-motion.
Lembut.
Pasti.
Tak terhindarkan.

Mereka semakin dekat.
Bukan sekadar fisik—tapi seakan dua isi kepala akhirnya menyerah pada gravitasi yang sama.

Tangan mereka bertemu lebih dulu.
Perlahan, ragu, tapi kemudian mantap—seperti dua sinyal yang akhirnya mendapat koneksi penuh setelah lama buffering.

Sentuhan itu sederhana…
tapi cukup untuk membuat dunia berhenti berputar sejenak.

Tidak ada ledakan dramatis.
Tidak ada gerakan liar.
Hanya ketenangan yang mendalam—ketenangan yang muncul ketika akhirnya sesuatu jatuh ke tempat yang seharusnya.

“Ini udah lama banget harusnya terjadi,” katanya, suaranya bergetar ringan tapi tegas.
“Iya,” jawabnya. “Kita cuma pura-pura kuat.”

Dan malam itu menjadi saksi dua hati yang berhenti pura-pura.

Tidak ada yang terburu-buru—semuanya berjalan dengan ritme yang pas, seperti mereka sedang menenun perasaan yang selama ini tercecer.
Setiap detik terasa padat; setiap bisikan terasa lebih berat dari kalimat panjang.

Dan ketika kepala mereka bersandar dekat, tidak ada yang lebih penting daripada kenyataan sederhana ini:

Mereka akhirnya berhenti melawan apa yang sudah lama tumbuh.




SETELAH MALAM ITU — SAAT REALITAS MENYUSUL

Pagi datang bukan dengan cahaya…
tapi dengan rasa bersalah yang menunggu di ambang pintu.

Mereka berdua terbangun hampir bersamaan.
Sunyi.
Tenang.
Tapi ada getaran kecil di dada—bukan penyesalan penuh… lebih seperti seseorang yang sadar ia baru melangkah ke wilayah yang tidak pernah ia bayangkan akan dijajaki.


Dia membuka mata duluan.
Menghela napas panjang, seolah paru-parunya masih penuh dengan sisa malam tadi.

“Jam berapa sekarang?” katanya, suara serak.

Dia melihat layar ponselnya, dan wajahnya langsung pucat.
Ponselnya penuh notifikasi yang tidak sempat ia baca tadi malam karena… ya, dunia mereka berdua sedang runtuh dan dibangun ulang dalam detik yang sama.

“Aduh…” katanya samar. “Aku bahkan nggak pulang.”

Dia menoleh, sedikit panik.
“Serius kamu lupa?”

“Lupa total,” jawabnya, tidak membela diri—hanya jujur.

Dan itulah momen ketika kenyataan masuk tanpa permisi.
Seperti HR yang datang bawa audit mendadak.
Tiba-tiba.
Tajam.
Nggak pake basa-basi.

Keduanya sama-sama punya hidup lain.
Pasangan masing-masing.
Janji masing-masing.
Dan mereka baru saja mengacaukan garis batasnya.

Tapi anehnya… di balik kepanikan, ada sesuatu yang tetap hangat.
Sesuatu yang tidak bisa mereka bantah.
Sebuah tarikan yang tidak selesai hanya karena matahari naik.

“Harusnya aku merasa lebih takut dari ini,” katanya pelan.
“Harusnya aku juga,” jawabnya.
“Tapi… aku malah kepikiran kamu duluan.”

Kalimat itu menggantung di udara—mentah, jujur, berbahaya.

Mereka duduk di pinggir ranjang, diam beberapa detik.
Dan dalam diam itu, mereka sama-sama sadar:
perasaan ini sudah melampaui batas yang bisa ditarik mundur.

“Apa yang kita lakuin semalam…”
Dia berhenti, mencoba merangkai kata yang tidak terdengar munafik.
“Itu nggak simple.”

Dia mengangguk.
“Dan kita tahu ini bakal ada harganya.”

Mereka menatap satu sama lain lagi—bukan dengan euforia, bukan juga dengan takut.
Lebih seperti dua orang yang akhirnya sadar bahwa mereka sudah masuk terlalu jauh…
dan anehnya, tidak ada yang benar-benar ingin mundur.

“Pulang dulu,” katanya pelan.
“Kita pikirin semuanya nanti.”

Tapi sebelum keduanya benar-benar berdiri, sebelum baju dipakai dan kenyataan kembali mengikat mereka seperti borgol, ada satu hal yang muncul dari bibirnya:

“Ada satu hal yang aku tahu pasti…
aku nggak bakal bisa pura-pura nggak terjadi apa-apa.”

Dan dari wajahnya… dia merasakan hal yang sama.

Malam itu mungkin hanya satu malam.
Tapi efeknya?
Menjadi retakan pertama yang mengubah arah hidup mereka.




KETAGIHAN EMOSIONAL — SAAT RASA TAK LAGI BISA DIKURAS HABIS

Sejak malam itu, mereka seperti dua orang yang mencoba berjalan di kantor dengan wajah kalem… padahal hatinya gaduh kayak notifikasi Slack yang nggak berhenti bunyi.

Awalnya mereka pikir efek malam itu bakal mereda setelah tidur, setelah pulang, setelah melihat pasangan masing-masing.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya.


Begitu mereka berpisah, ada ruang kosong yang tiba-tiba muncul.
Ruang yang tidak pernah ada sebelumnya — dan sayangnya, hanya satu orang yang bisa mengisinya.

Mereka mencoba hidup normal.
Tapi normal berubah definisi.

Satu pesan pendek saja sudah cukup bikin dada meletup.
Sesederhana:

“Ada di mana?”

Dan balasannya:

“Kok aku kangen?”

Padahal mereka tahu kalimat itu seharusnya nggak diucapkan.
Tapi justru karena dilarang, rasanya makin kuat — seperti api kecil yang disiram bensin.

Di rumah masing-masing, mereka hadir secara fisik…
tapi hatinya seperti kabur pelan-pelan, lari ke tempat lain.

Dia sedang makan malam dengan pasangannya, tapi matanya sesekali melihat layar ponsel, berharap nama itu muncul.
Tangannya menggenggam sendok… tapi pikirannya memutar ulang momen ketika dua jari mereka bersentuhan pertama kali malam itu.

Dia sedang duduk bersama keluarganya, tangannya memainkan cangkir, tapi dadanya bergetar kecil setiap kali notifikasi bunyi.
Padahal ia tahu itu mungkin hanya promo marketplace.
Tapi tetap saja — detaknya melonjak.

Ketagihan mereka bukan tentang sentuhan.
Bukan tentang fisik.

Tapi tentang rasa aman yang mereka temukan satu sama lain.
Rasa dimengerti.
Rasa diterima apa adanya.
Rasa yang membuat mereka hidup kembali.

Dan itu justru membuat semuanya lebih berbahaya.

Karena ketika seseorang membuatmu merasa “hidup”…
sulit untuk kembali ke tempat yang membuatmu hanya “bertahan”.

Mereka mulai berbagi hal-hal yang tidak pernah mereka ceritakan pada pasangan:
ketakutan, ambisi, luka masa lalu, mimpi yang mereka simpan.
Hal-hal yang hanya muncul ketika seseorang membuka pintu yang tepat di dalam diri.

“Kenapa rasanya aku lebih jujur sama kamu daripada siapa pun?”
Dia bertanya suatu malam, lewat pesan.

“Karena kamu nggak pura-pura,” jawabnya. “Dan aku juga.”

Ketagihan itu menjalar seperti listrik, halus tapi konsisten.
Kadang kecil…
kadang kuat…
tapi selalu ada.

Dan setiap “selamat pagi” dari orang itu terasa lebih berwarna daripada ucapan dari pasangan di rumah.

Itulah masalahnya.
Itulah retakan yang makin melebar—bukan karena rencana, tapi karena hati memang nggak pernah bisa sepenuhnya dikendalikan.


Hubungan itu tidak diberi nama.
Tidak ada label.
Tidak ada komitmen.

Tapi yang jelas…
mereka saling mencari.
Saling menunggu.
Saling mengisi.

Dan ketagihan itu hanya tumbuh…
Pelan.
Tapi pasti.
Seperti gelombang yang tidak akan berhenti kembali ke pantai.

Tidak ada komentar: